PENYUNTING : JOUHAR B.R., S.H.
Alasan efisiensi dalam sistem outsourcing dan kontrak tidak tepat. Pasalnya, sistem ini dapat berdampak negatif bagi ketahanan perbankan nasional.
Sistem perekrutan tenaga kerja jangka pendek dengan pola outsourcing maupun kontrak yang selama ini lazim diterapkan oleh pelaku usaha, tak terkecuali di kalangan perbankan, dikritik Bank Indonesia (BI). Bank sentral ini bahkan menilai pola ini ke depan dapat berdampak negatif bagi ketahanan perbankan nasional.
“Sistem ini tidak tepat!” tegas Gubernur BI Burhanuddin Abudullah saat menjadi pembicara dalam Seminar Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) Perbankan Indonesia, di Gedung Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia (LPPI), Kemang, Jakarta Selatan, Senin (9/7).
Menurut Burhan -panggilan akrab Burhanuddin- pola outsourcing tidak akan bertahan bagi efisiensi perbankan dalam jangka panjang. “Mereka (perbankan, red) meng-hire S1 dan S2 secara kontrak dengan digaji tidak terlalu besar, ini ada trade off-nya. Kalau dengan cara seperti itu berarti tidak ada investasi untuk peningkatan kemampuan dan pengetahuan,” ujarnya.
Dia mengatakan, saat ini sebagian besar bank masih berpikir jangka pendek dalam memandang keberadaan sumber daya manusia, salah satunya menerima pegawai dengan sistem kontrak. Padahal, kata dia, seharusnya bank memandang pegawai sebagai investasi jangka panjang.
Ia menambahkan, alasan efisiensi yang dilakukan perbankan dengan pola ini juga tidak berdasar. Dia menjelaskan, yang perlu dikhawatirkan dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah jika terjadi proses penurunan daya saing secara sistematik. Untuk itu, menurutnya, yang harus dilakukan perbankan saat ini adalah meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. “Nah, sekarang, bagaimana mau bisa meningkatkan daya saing jika menerima pegawai hanya jangka pendek,” cetus pria kelahiran Garut, 10 Juli 1947 ini.
Burhan menyarankan, sebaiknya perbankan melakukan investasi terhadap sumber daya manusia dengan pola perekrutan tenaga kerja untuk jangka waktu yang agak panjang. Dengan begitu, menurutnya, keterampilan dan pengetahuan pegawai bank bisa ditingkatkan. “Saya meminta kalangan perbankan untuk mengkaji ulang sistem perekrutan semacam itu,” ujar Burhan.
Sayang, belum ada niatan BI untuk mengatur secara khusus penggunaan tenaga kerja dengan sistem outsourcing maupun kontrak di perbankan. “Kita belum terpikir untuk membuat aturannya,” jelas lulusan Sarjana Pertanian Universitas Padjajaran Bandung tahun 1974 ini.
Menanggapi kritikan ini, Ketua Perbanas Sigit Pramono mengakui perbankan memang menggunakan pola outsourcing dan kontrak untuk efisiensi sumber daya manusia. Namun hal ini diimbangi dengan pertimbangan beberapa hak untuk penggunaan tenaga kerja outsourcing dan kontrak. Menurutnya, selain untuk efisiensi, outsourcing itu dipakai untuk jenis pekerjaan yang membutuhkan orang yang lebih ahli di bidangnya. Misalnya untuk jasa kurir, servis, teknologi. Sementara untuk tenaga kontrak, sangat tepat digunakan untuk pengerjaan proyek. Dengan begitu, kata dia, perbankan bisa fokus pada penyaluran kredit dan pertumbuhan perbankan saja.
Sigit menambahkan, efisiensi sumber daya manusia bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan efisiensi perbankan. Selain sumber daya manusia efisiensi juga dilakukan melalui optimalisasi teknologi, pengurangan overhead cost dan pengurangan biaya dana.
KESULITAN BANK KECIL
Pada kesempatan yang sama, Burhan juga mengungkapkan saat ini institusi perbankan nasional sedang memiliki ketahanan yang kuat, sehingga jauh dari krisis. Menurutnya, kalaupun terjadi krisis seperti tahun 1997, perbankan Indonesia akan dapat bertahan dari depresiasi nilai tukar yang sangat besar.
Hanya saja, yang perlu diwaspadai adalah eksistensi bank kecil. Menurutnya, bank kecil masih sangat rentan terhadap krisis dibandingkan bank yang besar. “Kalau terjadi krisis lagi, dengan nilai tukar yang terdepresiasi sangat besar, hanya 3 bank dan bank-bank kecil yang akan mengalami kesulitan. Selebihnya, 120-an bank kita akan tetap tegar dan tetap bisa melaksanakan tugasnya,” urai pria yang pernah menjabat sebagai Assistant Executive Director di IMF tahun 1990-1993 ini.
Burhan mengatakan, menjelang krisis sepuluh tahun silam, kondisi fundamental ekonomi Indonesia juga cukup kuat. Hanya saja, ada satu hal yang terlupa, yakni institusi perbankan sangat lemah. “Inilah yang menyebabkan krisis. Perbankan tampaknya dijalankan dengan baik, tapi ternyata dibelakangnya manipulatif,” jelasnya.
Dia mengatakan kondisi perbankan tahun 1997 berbeda dengan saat ini. Saat ini, kata dia, kondisinya jauh lebih sehat. Hal ini, ungkap Burhan, dapat diindikasikan oleh beberapa faktor. Contohnya, saat ini neraca pembayaran Indonesia surplus besar, sehingga cadangan devisa meningkat dan nilai tukar relatif stabil. Menurutnya, surplus neraca pembayaran di Indonesia saat ini merupakan yang keempat kalinya dalam sepanjang sejarah Indonesia
1 komentar:
teruskan usahamu ya...
semua harus dibuat sampai jadi..?!!
Posting Komentar